Infobandungnews.com-Artikel. Penerapan hukum pidana lingkungan saat ini menurut penelitian Advokat Boy Anggara , S.H ,M.H belum optimal disebabkan karena ketiadaan sinkronoisasi, atau keselarasan baik secara struktural, substansial maupun kultural pada sistem peradilan pidana dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Terjadinya pengulangan kejahatan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan subjek hukum perseorangan dan Korporasi membuktikan ada ketidak harmonisan penyidik POLRI dan PPNS dalam menanggulangi kejahatan lingkungan.
Penelitian ini menurut Boy Anggara bertujuan untuk menganalisis bagaimana penyelesaian konflik kewenangan penyidikan antara penyidik Kepolisian RI dengan Penyidik PNS dalam penegakan hukum pidana lingkungan hidup dan bagaimana upaya harmonisasi terhadap konflik kewenangan antara penyidik POLRI dengan PPNS. Metode pendekatan Yuridist normatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriftif analisis.
Hasil analisis menunjukkan, pertama pengaturan kewenangan PPNS dalam tindak pidana lingkungan hidup tidak sesuai dengan sistem peradilan pidana berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, KUHAP sebagai generalis dan UU No. 32 Tahun 2009 adalah lex specialis tindak pidana lingkungan hidup pada saat penyampaian hasil penyidikannya harus melalui penyidik POLRI. Sementara, kewenangan penyidik POLRI dalam UU No. 32 Tahun 2009 tidak diatur secara jelas.
Penyelesaian penegakan hukum di bidang lingkungan hidup khususnya terhadap pelaku tindak pidana dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam sistem peradilan pidana ini terdapat 4 (empat) komponen lembaga/instansi yang terkait di dalamnya, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan, di mana keempat komponen tersebut dalam sistem peradilan pidana satu dengan lainnya saling terkait.
Sehubungan dengan fakta dan problematika Pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan: “Penyidik adalah pejabat negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian dalam Pasal 6 KUHAP diperinci lagi sebagai berikut: 1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia ; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Sering timbul konflik kewenangan antara PPNS dan Kepolisian untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana lingkungan sehingga penanganan belum optimal, hal tersebut disebabkan oleh adanya tumpang tindihnya kewenangan sebagai penyidik yang dapat dilakukan oleh Penyidik PPNS dan POLRI, ketidaklengkapan pengaturan mekanisme penangkapan oleh PPNS dan Penyidik POLRI dalam undang-undang menimbulkan beda persepsi penerapannya.
Kondisi tersebut membawa implikasi Penegakan Tindak Pidana Lingkungan dianggap kurang memiliki kemampuan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus tindak pidana lingkungan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
- Bagaimana Penanganan Tindak pidana Lingkungan hidup oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Yang dilakukan Koorporasi ?
- Bagaimana Langkah Strategis penyekesaian Konflik Kewenangan Penyidikan antara PPNS dengan Penyidik Polri dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Lingkungan ?
Boy menyampaikan ” tujuan penelitian ini untuk menemukan Penanganan Tindak pidana Lingkungan hidup oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang dilakukan Koorporasi dan menemukan Langkah-langkah strategis Pemerintahan Kabupaten Bandung terhadap konflik kewenangan penyidikan antara PPNS dengan penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana lingkungan yang dilakukan koorporasi”
Download Artikel Selengkapnya KONFLIK KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP YANG DI LAKUKAN KOORPORASI _BOY ANGGARA, S.H., M.H
Berdasarkan analisa Boy Anggara dalam artikelnya menyimpulkan bahwa prosess penyidikan sejatinya bukanlah proses yang sederhana, dan tidak setiap institusi dapat melaksanakannya. Pengaturan kewenangan PPNS dalam tindak pidana lingkungan hidup tidak sesuai dengan sistem peradilan pidana berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis.
Oleh sebab tersebut, Negara harus mengakomodir atas permasalahan dengan jalan regulasi yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam ketentuan UUPPLH perlu dirubah sebagaimana bunyi Pasal 95 UUPPLH Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri, mengingat prinsip hukum lex superior derogat legi inferiori guna tercapainya integrated justice system dan agar tidak ada lagi pengulangan kejahatan hukum pidana lingkungan. ***
Penulis Boy Anggara, S.H., M.H.