Infobandungnews – Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menyampaikan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP), dinilai hanya macan kertas. “Lemah dalam implementasi di sekolah,” ujar ujarnya, Rabu (27/9).
P2G mencatat, kekerasan terus terjadi di lingkungan sekolah. Dalam satu bulan terakhir, ada lima kasus indikasi kekerasan di sekolah. Pertama, kasus guru mencukur rambut belasan siswi karena tak pakai jilbab sesuai aturan sekolah, di Lamongan, Jawa Timur.
Kasus kedua, seorang siswa SD di Gresik, Jawa Timur, diduga dipalak dan dicolok matanya sampai buta oleh kakak kelas. Ketiga, seorang guru madrasah aliyah di Kecamatan Kebonagung, Demak, Jawa Tengah, dibacok siswa saat asesmen tengah semester.
Kasus keempat, seorang siswa dipukul dan ditendang bertubi-tubi oleh siswa lain. Kemudian, ada siswa yang merekamnya. Pelaku dan korban, diduga dari SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap.
Kelima, siswi SDN 06 Pesanggrahan, Jakarta Selatan, diduga melompat dari lantai empat gedung sekolah ini.
P2G menilai, Kemendikbudristek dan Dinas Pendidikan, belum optimal menyosialisasikan Permendikbudristek PPKSP sampai ke level pengawas, kepala sekolah, guru, orangtua dan siswa. Sehingga, kekerasan masih terjadi.
“Permendikbud PPKSP belum mampu mencegah dan menanggulangi kekerasan di sekolah. Sangat disayangkan, sekolah belum menyadari adanya aturan ini,” tandas Satriwan.
Komisi X DPR yang membidangi pendidikan angkat bicara. Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf mengatakan, perlu aturan dan tindakan tegas dalam pengawasan, pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
” Saya juga banyak kiriman video tentang adanya tindakan kekerasan itu. Saat ini, sudah darurat moral ” tanggap Dede Yusuf..
Ia juga menanggapi keluhan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), mengenai implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Aturan ini banci. Karena, tidak ada sanksi. Sanksinya hanya bersifat administratif, diberikan oleh satuan pendidikan dan tidak ada tindak lanjutnya, siapa melakukan apa dan siapa yang memberikan hukuman.” Tanggapnya.
” Kementerian dan Dinas, kalau aturan sudah terbit, sepertinya memandang itu sudah cukup. Fungsi pengawasan dan pendidikan, dilepas ke satuan sekolah. Padahal, banyak satuan sekolah belum mendapatkan sosialisasi atau advokasi. Banyak guru kalau saya tanya, mereka tidak berani bersikap” lanjutnya.
” Kenapa hal iti terjadi, mereka takut, setelah bersikap, terjadi kriminalisasi. Guru juga banyak dibebani aturan, sehingga tidak terjadi fungsi pengawasan kepada siswa-siswa yang melakukan kekerasan. Takut diadukan ke Polisi, ke Komnas HAM” Ujarnya.
Bagaimana solusinya? Kata Dede Yusuf Macan Effendi , Pertama, Permendikbud itu dikoreksi. Jangan dibikin terlalu ribet dan penuh aturan. Tetapi, ada fungsi sekolah ramah atau aman bagi anak. Dalam hal ini, anak-anak perlu kita lindungi dari kekerasan temannya atau gurunya. Atau pun sebaliknya. Dasarnya adalah, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Turunannya sudah jelas, siapa berbuat apa, siapa yang memberi sanksi, yakni kepala sekolah. Sanksi yang diberikan sudah jelas. Ada administratif, SP 1, SP 2, pemecatan atau diserahkan ke pihak berwajib.
Siapa yang mengawasi, harus ada guru BP. Dulu guru BP ditakuti, minimal pesilat, kasarnya seperti itu. Ada juga Babinsa, ada Polisi. Supaya nanti kalau guru melempar pakai kapur, besoknya tidak langsung dipanggil Polisi.
Selain itu, hadirkan kembali Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau apa pun namanya. Intinya, menjelaskan kita ini negara yang berakhlak. Adab ketimuran, adab sopan santun untuk saling menjaga.
Tapi, di era media sosial seperti ini, siswa tidak bisa disalahkan. Kalau siswa kita salahkan, nanti penjara anak akan penuh. Jadi, mau tidak mau, pendidikan akhlak anak harus kita perhatikan sejak dini. Dari sejak PAUD, dari sejak SD.
Secara umum, pendidik tentang Permendikbud PPKSP ini sifatnya hanya imbauan. Padahal, sekarang ini sudah darurat moral di dunia pendidikan. Imbauan tidak cukup dan sosialisasi tidak masif ” tutup Dede Yusuf Macan Effendi Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Dapil Jabar 2 Kabupaten dan Kabupaten Bandung Barat ini. (YG-IBN001)***